Senin, 14 Maret 2011

Nasib Petani, Senandung Lirih Sepanjang Masa


"Sesungguhnya, dengan mahalnya harga pangan di dunia, bagi Indonesia itu bukan musibah, tapi menjadi berkah.
Apabila kita sadar bahwa seluruh kekayaan kita kelola dengan benar, ditata dengan baik, yang tumpang tindih
dibereskan, maka kita tidak akan kekurangan pangan.
Seluruh kekayaan kita pun harus kita lindungi dari keserakahan pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia menjadi
besar, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Kesulitan ini dapat menjadi berkah bila ditata dengan baik. Kita
tidak akan putus asa untuk terus mencari solusinya." (Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono acara resepsi
hari lahir Gerakan Pemuda Ansor ke-74 di GOR Sasana Kridha Anaroga, Kelurahan Raci, Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (27/4)).
Penggalan paragraf diatas adalah kutipan dari Tempo Interaktif, salah satu layanan berita on line. Media lain yang
menawarkan surga telinga yang tak kalah menggembirakan adalah berita prestasi petani Indonesia di Harian Kompas
edisi 10 november 2008:
Tanda-tanda kebangkitan sektor pertanian terus menggeliat...melalui Berita Resmi Statistik (3/11), BPS memperkirakan
produksi padi nasional 2008 akan mencapai 60,28 juta ton GKG atau naik 5,46% dibanding angka produksi
2007...Seiring dengan meningkatnya produksi komoditas pangan untama, ekspor produk pertanian pun melesat sangat
mengesankan. Data BPS terbaru menunjukan, selama periode Januari – September 2008, ekspor pertanian
meningkat 42,64% dibanding periode yang sama tahun 2007...Bangkit Petaniku, Bangkit bangsaku!, Petani Sejahtera,
Petani Berjaya!
Terdapat harapan, spirit dan motifasi yang besar ketika mendengar atau membaca berita tersebut, apalagi sloganslogan
penutup berita pada harian Kompas tersebut dapat menggetarkan hati petani mana pun di Indonesia. Gambar
sawah yang sedang panen dan presiden yang tersenyum menggenggam seikat padi seolah melengkapi ketegasan
penyampaian berita itu. Namun ketika kita membuka halaman sebelumnya, akan terlihat situasi yang sangat kontras,
hanya terpisah satu halaman, judul beritanya “400 Ha Padi Gagal Panen”, bencana ini terjadi di desa Vatu
Nonju, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah. Bencana tersebut ternyata tidak hanya melanda satu desa,
masih ada beberapa daerah lain yang mengalaminya. Menurut pengakuan petani, meski bencana ini merugikan mereka,
namun hal ini dapat mereka terima “Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena ini adalah bencana, yang namanya
bencana ya kita terima” ujar Abdullah (45) Ketua Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) desa Vatu Nonju. Saat
itu secara tidak sengaja SILO yang sedang mencari ketua GAPOKTAN desa Lolu, Kec. Sigi Biromaru bertemu Abdullah
yang sedang berbelanja di sebuah kios.
Keadaan yang sangat kontras ini terjadi di masyarakat, impian akan berkah kenaikan harga pangan dunia seketika
lenyap melihat kondisi dan keluhan para petani. Susahnya mendapatkan pupuk yang murah, mahalnya biaya produksi,
rendahnya harga jual dan utang yang menumpuk menjadi nyanyian harian para petani. Di daerah Sulawesi Tengah,
Kab. Sigi adalah salah satu lumbung beras andalan, bagi petani di Sigi, produksi yang stabil bukan menjadi ukuran
kesejahteraan, tak jarang mereka harus menunggak utang kepada para pemilik modal (Pengusaha Gilingan) yang
meminjamkan modal usaha. Firman (30) misalnya, petani desa Biromaru ini mengaku kesulitan saat menghitung
keuntungan seusai panen, “Paling sering kita itu jalan-jalan (kembali modal), kalo mo harap untung stengah mati,
keuntunganya kita tidak ba beli beras lagi” ujarnya sambil tersenyum pahit. Ketika ditanya perbandingan kerja
kerasnya dengan keuntungan tersebut, Firman yang ketika ditemui SILO sedang memotong rumput untuk pakan
kudanya mengungkapkan “Saya ini le, tidak ba hitung cape lagi, mo lari kemana kalo tidak ditani. Untung saya ini,
ba kerja tanah sendiri, bukan tanahnya orang. Jadi saya sudah syukur kalo anak saya sudah makan”. Ayah dari 4
orang anak ini mengaku selain biaya tanam yang mahal, biaya pemeliharaan juga menguras kantong karena pupuk dan
pestisida yang dibutuhkan tidak sedikit.
Tak jauh beda dengan Firman, Masri (48) ayah tiga orang anak mengaku selama 11 tahun ia bertani, taraf hidupnya
masih berjalan ditempat. Ketika ditemui SILO sosok yang sangat ramah ini sedang duduk dibawah pohon jambu air
bersama petani lain Deki (32) tepat disamping pondoknya. Pondok yang sangat sederhana tersebut terbuat dari pelepah
sagu dan papan-papan usang dengan atap dari rumbia. Pondok multi guna ini selain menjadi tempat ia bersama
keluarganya hidup juga sekaligus menjadi tempat untuk mengawasi burung pemakan padi. Masri mengaku saat yang
paling sulit adalah saat harga gabah turun “kalo harga turun, kitorang pasti ba utang lagi dengan gilingan (pemilik
modal)” ujarnya. Meski tatapannya serius namun tidak ada kesan ketegasan disana, yang ada hanya harapan.
Saat SILO menanyakan bantuan pemerintah dalam menstabilkan harga, tatapan Masri pun mengendur, sambil menatap
lahannya Masri mengatakan “Setahu saya tiada, tapi saya te tau juga dorang-dorang, jangan nanti kita bilang
tiada ternyata ada” suasana canggung sempat tercipta. “Yang jelas torang tinggal ba dengar harga
dipasar, kalo turun, ya turun”. Ujar Deki membantu temanya untuk menjawab.
Abdullah ketua GAPOKTAN desa Vatu Nonju menegaskan bahwa selama ia menjadi bergabung dikelompok tani dia
tidak pernah mendapatkan bentuan tersebut “saya sudah lima tahun dikelompok tani tapi saya belum pernah
merasakan bantuan itu” tegasnya dengan sambil mengayun-ayunkan telunjuknya. Komentar yang lebih menarik
keluar dari Firman, saat SILO menanyakan bantuan pemerintah dalam menstabilkan harga, dengan setengah tertawa
Firman berkata dalam bahasa Kaili “motandu pa Jara” yang arti kasarnya “saat kuda punya
tanduk”, pernyataan ini menunjukan betapa pesimisnya petani menatap masa depan.
Ironis memang, disaat Badan Pusat Statistik (BPS) mendendangkan angka-angka ramalan yang memanjakan telinga,
disaat yang sama jerit petani seakan menjadi musik pengiring yang senantiasa mengalun meski dendang tersebut
melemah dan lenyap. Harapan akan masa depan pertanian yang lebih baik menjadi dambaan bersama penguasa,
pengusaha dan rakyatnya, namun bagi petani hal itu masih jauh dari kenyataan. Nasib kaum tani di negeri ini seperti
nyanyian lirih yang terus didendangkan sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar